The Power Of Music: Ananda Sukarlan

Orkestra G20 hadir sebagai salah satu upaya untuk menyingkirkan hambatan di dunia musik klasik Barat.

Konduktor legendaris Zubin Mehta pada suatu kesempatan menyatakan, “Jangan pernah meremehkan kekuatan musik” ketika ditanya mengapa dirinya giat mengusung pergelaran musik klasik Barat ke daerah konflik, wilayah yang sebelumnya dilanda perang atau kawasan yang baru disapu bencana. Hingga kinipun Mehta masih percaya—meski sejumlah orang menyebutnya sebagai sikap  yang naïf—bahwa musik, tak mesti klasik Barat, mampu membuat orang duduk berdampingan, tersenyum dan menepikan perbedaan, walaupun mungkin hanya untuk beberapa lama.

Tentu saja ajang G20, yang tahun  ini dibawah presidensi Indonesia, bukan arena konflik atau bencana. Tetapi, bahkan tanpa penyerangan Rusia atas Ukraina sekalipun, kelompok ekonomi multilateral ini sulit untuk disebut sebagai sekumpulan negara yang selalu rukun, seia sekata. Sebelumnya,ke-20 negara anggotanya  kerap kali berselisih juga karena memperjuangkan kepentingan sendiri-sendiri. Meski demikian, pada dasarnya  mereka  percaya berjuang bersama lebih memungkinkan untuk diraihnya banyak manfaat. Dalam semangat “Pulih Bersama, Bangkit Perkasa” (Recover Together, Recover Stronger)—tagline yang dipilih Pemerintah Indonesia untuk masa presidensinya—inilah agaknya Orkestra G20 kemudian dibentuk. Setidaknya, demikianlah yang disampaikan oleh artistic director Orkestra G20 Ananda Sukarlan, sosok yang dikenal “rajin” membawa atmosfir  pembaruan di dunia musik klasik Barat yang digelutinya.

Ananda mengakui adanya permintaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk membangun sesuatu yang tak jauh dari tagline G20 kali ini. Dan bukan Ananda jika di saat yang sama tidak “menyelipkan” pula gagasannya  dalam proyek Orkestra G20 yang pementasan perdananya berlangsung 12 September lalu di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Ia menyatakan orkestra ini harus “berjiwa dan bersemangat” muda. Itu sebabnya lulusan Royal Conservatory of The Hague ini khusus melakukan audisi terbuka  bagi mereka dengan tahun kelahiran setelah 1990 untuk merekrut para musisi Indonesia. Ia menggunakan jaringan internasionalnya untuk menarik juga musisi dari negara-negara anggota G20 lain.

Hasilnya, tak kurang dari 18 negara mengirim bakat muda  terbaik untuk berpartisipasi dalam Orkestra G20.  Di antaranya adalah penggesek biola Antonina Popras dan peniup trumpet Nikita Loginov dari Rusia; peniup flute Santoago Clemenz dari Argentina; peniup french horn Emi Akiyama dan peniup clarinet A/B- flat Kenta Iikuza dari Jepang; dan penggesek double bass Jasiel Peter dari India. “Yang absen dalam pengiriman hanya China yang mengaku masih bergelut dengan Covid-19 dan Turki yang tak memberikan alasan jelas,” ujar sosok yang kondang dengan seri “Rapsodia Nusantara”-nya ini. Ketika terbentuk dengan total 66 musisi,  pianis dan komposer ini juga membanggakan upayanya menyingkirkan sejumlah hambatan yang biasa diasosiasikan dengan orkestra dan musik klasik Barat. “Dua di antara tiga perkusionis kami adalah perempuan. Mereka menghapus citra bahwa perkusionis mesti terlihat maskulin dan serba bertenaga,” jelasnya.

Ananda mengaku awalnya menginginkan jumlah musisi lelaki dan perempuan yang sama. “Akhirnya, kami ‘hanya’ berhasil merekrut 30 perempuan dan 36 lelaki.  Cita-cita saya tak terpenuhi, tetapi ini sudah merupakan pencapaian yang cukup memuaskan,” akunya. Ananda menyatakan keinginannya itu terutama dilatarbelakangi oleh dunia musik klasik Barat yang hingga kini masih amat patriakis.  “Jadi kami sengaja merekrut Eunice Tong sebagai principal conductor Orkestra G20,” tegasnya. Sehari-harinya Eunice adalah managing director Aula Simfonia Jakarta.

Ananda lebih lanjut mengatakan, baru pada  2013 Vienna Philharmonic resmi menerima perempuan sebagai musisi tetap. “Berlin Philharmonic hampir sama. Baru pada 1982 menerima anggota perempuan, kira-kira seabad setelah didirikan,” katanya.

Ananda juga melakukan terobosan terkait repertoar Orkestra G20. “Kami, antara lain, menampilkan karya Michael Tippett, ‘A Child of Our Time’ serta  besutan  Sergei Prokofiev, ‘Piano Concerto No. 4 in B-flat major for the left hand’, selain komposisi saya sendiri ‘The Voyage of Marege.’” Di tengah ketegangan yang masih menyelimuti para anggota G20 akibat aksi bersenjata Rusia di Ukraina, oratorio Michael Tippett dihadirkan, antara lain, karena mengusung “pacifist ideas.” Dan piano concerto karya Prokofiev yang didedikasikan pada Paul Wittgenstein, dilatarbelakangi petaka yang disebabkan perang. Wittgenstein adalah pianis konser yang tangan kanannya mesti diamputasi akibat Perang Dunia I.

Sementara itu, ‘The Voyage of Marege’ yang mengandung elemen tradisional musik Indonesia adalah upaya mengingatkan akan hubungan erat yang pernah terjalin antara para pelaut Kepulauan Nusantara serta Australia dan wilayah sekitarnya pada abad ke-18. Mengakui bahwa sebagian repetoar itu tak  terlalu “familiar” di  Indonesia, Ananda menyatakan, “Bagaimanapun, Michael Tippett dan Prokofiev tenar secara internasional. Lagi pula, kita ‘kan perlu bergerak maju sambil, tentu saja, terus memelihara semangat kebersamaan. Jika masih terus berkutat dengan Bach, Brahms dan Beethoven, kita hanya berjalan di tempat.”

Dalam wawancara singkat kami di tengah-tengah persiapan konser mereka beberapa waktu lalu, kami juga berbincang dengan dua musisi Jepang, Emi Akiyama dan Kenta Iikuza yang mengaku telah siap tampil bersama G20 Orchestra, dan merasa sangat bangga dapat ambil bagian dalam konser istimewa ini, dan bermain dengan musisi dari berbagai negara. Mereka yang baru pertama kalinya datang ke Indonesia ini mengaku senang dapat berkumpul bersama musisi lain dari Indonesia dan negara-negara lain, serta menghabiskan waktu bersama selama dua minggu yang sangat berkesan.

 

Foto-foto Ananda Sukarlan dan musisi Jepang: Fiqih
Foto-foto saat latihan: Alicia Pirena Sukarlan

Share via
Copy link
Powered by Social Snap