WILLIAM WONGSO’S CULINARY WONDERS

Kebesaran dalam kesederhanaan seorang William Wongso, legenda di dunia kuliner Indonesia yang semakin mendunia di usianya yang sudah mencapai 78 tahun

Pada sebuah sore di atas meja kerja, saya membayangkan sosok William Wongso: air muka yang
bersahabat, matanya sudah menyaksikan berpuluh musim kuliner Indonesia, dan jari-jarinya
yang penuh kerja seolah punya bekas ingatan tiap tekstur tepung, aroma rempah, hingga
pedasnya cabai. Pria ini tak berbicara cepat, namun tiap kata dipikirkan dan disampaikan dengan
cermat. Begitulah seorang maestro kuliner nasional yang tak hanya berniat menyajikan hidangan,
tapi juga menjelajahi narasi budaya dan sejarahnya lewat tiap hidangan yang ditemuinya dalam
perjalanan.

William Wirjaatmadja Wongso lahir di Malang, Jawa Timur pada tahun 1947, dua tahun usai Indonesia merdeka. Sejak awal, jalan hidupnya bukanlah garis lurus menuju dapur profesional, namun panggilan rasa dan budaya tampaknya memang lebih kuat. Masih jelas dalam memorinya tentang pengalaman rasa hidangan di masa kecilnya. Ia bernostalgia, “Saya besar di Surabaya. Waktu saya masih kecil, saya kurang tahu apa itu makan di resto besar, apalagi fine dining. Masih teringat nasi bandeng Bali bungkus di seberang rumah yang cita rasanya sangat ngangenin. Saat ini, saya tidak dapat menemukan rasa seperti itu lagi. Tiap sore ada nenek yang
keliling sekitar rumah yang membawa nampan masakan mie lontong di atas kepalanya. Cara
berjualan ini sudah tidak ditemukan lagi, seperti penjual jajanan dalam tenong yang dibawa ke
rumah-rumah. Dan begitu banyak lagi kenangan kuliner masa kecil.”

Jika Anda kerap kali melewati Jalan Panglima Polim di Jakarta Selatan, mungkin Anda familier
dengan logo dan tulisan Vineth Bakery yang bersandar pada bangunan berwarna putih cokelat
bergaya tempo dulu. Inilah salah satu jejak awal perjalanan kuliner William dalam bidang roti
dan pastry di akhir 1970-an. Uniknya, pria ini tidak menuntut dirinya untuk selalu berada di
ruang kelas kuliner. Ia belajar di luar negeri dari Australia, Swiss, Belanda, Jerman, Italia,
Prancis, di bidang pastry, roti, cokelat, es krim, dan kursus kuliner lainnya. Di Indonesia, ia
memilih belajar dari warung pinggir jalan hingga pasar tradisional untuk menyerap teknik dan
cita rasa lewat interaksi langsung. Belajar secara total melalui praktik dan observasi adalah
karakteristik khasnya. Dari sana ia merancang dasar pemikiran kulinernya, bahwa seorang chef
sejati harus punya lidah yang tajam dan wawasan luas soal rasa.


William tak hanya berkutat di dapur dan bisnis, ia membentangkan langkahnya ke ranah
diplomasi pangan dan kebudayaan. Jauh sebelum maraknya era media sosial, ia pernah menjabat
sebagai penasihat kuliner untuk maskapai Garuda Indonesia guna membantu standardisasi dan
pengembangan hidangan di udara. Ada pula peran di dalam pemerintahan, antara 2011-2014 saat
ia memimpin program diplomasi makanan yang melibatkan Kementerian Pariwisata,
Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Perdagangan, yang bertujuan mengenalkan 30
masakan Indonesia ke dunia internasional. Hingga pada akhirnya 5 tahun lalu wajahnya hadir
dalam program Gordon Ramsay: Uncharted, berjasa dalam pengenalan dan interpretasi masakan
khas Sumatra Barat pada audiens taraf internasional.

Maka dari itu ia rencanakan dengan matang agar kultur Indonesia terlihat luar biasa di mata
dunia. Ia mengusulkan opening scene dalam bentuk Bajamba (tradisi makan dengan cara duduk
bersama-sama di dalam suatu ruangan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau termasuk
di Solok Selatan untuk menyambut perayaan penting) agar dibuat dengan megah. Tujuannya tak
sekadar memperkenalkan hidangan, tapi menjadikannya lebih menonjol dibandingkan episode
lainnya—agar perhatian tertuju bukan hanya pada apa yang tersaji di piring, melainkan pada
keseluruhan narasi budaya yang menyertainya. Dedikasinya yang panjang dalam dunia kuliner Indonesia datang dari semangatnya yang tetap membara hingga saat ini. “Sebagai orang Indonesia, saya bangga dengan beragamnya budaya kuliner daerah yang sangat kompleks dan berbeda satu dengan lainnya. Sayang kalau sampai punah untuk generasi yang akan datang,” jelasnya dengan mantap.

Kepribadian William yang ramah dan hangat akhirnya terbukti benar saat kami berjumpa di sela kesibukannya menjadi bintang utama sebuah acara kuliner bertajuk Savor the Flavor by William Wongso di Plaza Indonesia. Di pergelangan tangan kanannya, ia mengenakan Rolex Daytona White Gold Meteorite dengan tali jam kulit warna hitam. Pria ini mengaku masih menyimpan beberapa jam tangan mekanis favoritnya, meski kini ia sudah tidak lagi menambah koleksinya. Mungkin, waktu bagi seorang William Wongso, itu bukanlah ukuran keberhasilan. Ia tak pernah membatasi dirinya dalam kerangka umur, gelar, atau garis akhir karier. “Saya tidak memandang waktu. (Yang penting) melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat,” ujarnya. Di balik deretan prestasi dan pengakuan internasional, masih terselip satu asa yang hingga kini belum juga tercapai. Ia berharap akan hadirnya institusi pendidikan khusus yang benar-benar mengkaji dan merawat budaya kuliner daerah secara serius dan berkelanjutan. William turut menggugah dunia perhotelan: mengapa tidak hotel-hotel bintang lima secara rutin menghadirkan maestro kuliner tradisional sebagai bentuk perayaan kearifan lokal? Dalam bayangannya, sebuah festival kuliner daerah yang bukan sekadar agenda musiman, melainkan panggung berkelanjutan bagi penjaga rasa dari Sabang sampai Merauke. Dengan semangat yang tak lekang waktu, William Wongso telah mencetuskan obor sembari menjaga nyalanya agar terus berpijar. Jika dapur adalah ruang untuk meramu budaya, maka semoga dari ruang tersebut kelak lahir gelombang baru yang mampu meneruskan misi ini.

Penulis: Ardhana Utama
Foto-foto: Koleksi pribadi William Wongso

Share via
Copy link
Powered by Social Snap
×