CALM IN THE RUSH OF TIME

Perjalanan berkarya seorang Didiet Maulana yang telah memasuki masa 14 tahun, dimatangkan oleh waktu

Dalam ruang kamar hotel Keraton at The Plaza yang bergaya modern dengan sentuhan elemen tradisional di kawasan Jakarta Pusat, tim Collector’s Guide Watches disambut dengan senyum hangat dari seorang pria yang selama lebih dari satu dekade telah berkontribusi ke dalam ranah mode Indonesia. Didiet Maulana adalah sosok yang dikenal luas sebagai pendiri label IKAT Indonesia beserta tiga label lainnya. Saat kami bertanya tentang karya favoritnya, ia menjawab, “Semua karya saya baik itu IKAT Indonesia, Svarna by IKAT Indonesia, Sarupa by IKAT Indonesia, dan juga Griya by IKAT Indonesia, semuanya adalah anak-anak kesayangan saya. Masing masing dari mereka memiliki treatment yang berbeda-beda, audiens yang berbeda-beda, dan masing-masing juga mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Jadi, enggak ada anak kesayangan.”

Tampak jelas bahwa bagi Didiet, label-label tersebut bukan sekadar sarana komersial, namun manifestasi cintanya terhadap negeri ini. Melalui berbagai label tersebut, ia menjadikan kain tenun sebagai pusat perhatian. Bukan sekadar sebagai unsur pelengkap, tetapi sebagai bahan utama yang dimuliakan dalam tiap koleksi. Didiet menyulap tenun menjadi busana ready-to-wear, kebaya modern, hingga koleksi pakaian seragam yang sarat identitas nasional. Ia menghadirkan kombinasi warna harmonis, potongan modis, serta perhatian pada detail yang menjadikan karyanya mudah dikenali. Segala usaha mulia tersebut tentu berjalan bukannya tanpa tantangan dari sisi eksplorasi. Pria ini pun percaya, bahwa ragam kain tradisional Indonesia masih dapat dioptimalkan. Ia berpendapat, “Eksplorasi kain Indonesia sebenarnya banyak sekali yang bisa digunakan, tapi memang semuanya membutuhkan waktu, energi, hingga keahlian. Membutuhkan kesabaran dan juga ego kita yang harus semakin ditekan apabila kita memang ingin berkarya dengan kain tradisional Indonesia, dan juga mengembangkan ide dan kreativitas kita tetapi harus tetap menjaga juga akar budayanya. Jadi, pengembangannya tetap didasarkan dari inspirasi nilai-nilai tradisi atau budaya Indonesia.”

Kini ia sudah memasuki masa 14 tahun berkarya, sehingga pola pikirnya semakin dewasa. Ia tumbuh dan makin paham. “Memasuki 14 tahun ini yang pasti kita semakin mengenal satu sama lain, saya dengan tim, saya dengan partner saya, kemudian saya dengan audiens saya. Jadi, sebenarnya 14 tahun ini adalah perjalanan untuk makin mengenal orang-orang yang ada di sekitar saya. Tapi dari perjalanan ini, saya juga sebenarnya semakin mengenal seorang Didiet Maulana. Apa yang ia inginkan, apa yang ingin ia capai, dan bagaimana akhirnya 14 tahun telah menempanya menjadi seseorang yang lebih matang dan lebih bijak dalam menghadapi tantangan dan juga problem yang terjadi dalam hal manajemen, business development, desain dan ide, dan lainnya,” cerita Didiet.

Saat pemotretan dimulai, pria ini mengenakan tampilan khasnya berupa kemeja tanpa kerah polos dengan luaran berbahan kain tradisional yang mempunyai volume. Di pergelangan tangan kanannya, ia mengenakan sebuah jam tangan elegan yang mempunyai makna tersendiri dalam perjalanan kariernya. Inilah jam tangan vintage Rolex Cellini yang dilengkapi dengan dial putih, serta bezel dan indeks berwarna emas. “Ini adalah Rolex pertama saya, dan saya senang sekali karena orang butuh beberapa detik untuk menebaknya. Selain unik, warna emas di bagian depannya itu mengingatkan saya tentang keberhasilan, pencapaian, tapi tetap terlihat sederhana,” tambahnya.

Jam tangan tersebut tak sekadar menunjukkan waktu, tapi juga cerminan dari kerja keras dan hasil yang pantas dirayakan. Ia berkata, “Jadi ketika saya membeli atau mengoleksi jam tangan itu semata-mata karena saya ingin menangkap momennya, saya ingin mengingat momen tersebut. Baik berupa perayaan atau momen selebrasi dalam hidup saya.” Jam tangan mempunyai tempat istimewa di hati Didiet Maulana. Sampai saat ini pun, rupanya ia masih mengamati lansiran lain yang belum ia miliki. “Saya ingin sekali jam Jaeger-LeCoultre Reverso yang bisa dibolak-balik. Mudah-mudahan satu hari saya bisa membawa pulang jam itu. Dulu saya pernah mencobanya dengan tali kulit hitam dengan case berwarna emas. Menurut saya itu begitu indah dan tidak begitu banyak yang pakai, jadinya spesial,” kenangnya.

Saat menuliskan artikel ini, kami jadi teringat sebuah pernyataan yang bilang bahwa “Time is our worst enemy”, namun tidak begitu halnya bagi Didiet. Menurutnya, waktu justru adalah sebuah anugerah. Dengan memilikinya, maka ia harus membuatnya jadi bermakna dan berguna. “Jadi bagaimana waktu itu dimanfaatkan kembali lagi ke diri kita. Kita bisa saja menggunakan satu jam untuk scrolling media sosial, padahal mungkin di saat yang sama satu jam itu bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Bagi saya, selagi masih ada napas dan degup jantung maka waktu itu adalah sebuah karunia yang tak ternilai,” jelas Didiet. Dengan demikian, waktu adalah suatu bentuk platform yang membuat kita bisa mewujudkan semua yang kita punya atau yang kita miliki dalam benak kita.

Maka dari itu, ia memutuskan untuk menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan dibagi dengan sebijak-bijaknya. Perjalanan berkarya Didiet dimatangkan oleh waktu, seperti halnya proses menenun yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan rasa percaya bahwa benang yang dirajut hari ini akan membentuk sesuatu yang indah pada akhirnya. Didiet berupaya mencari titik imbang di tengah arus mode yang cepat dan silih berganti. Berusaha merangkul masa lalu tanpa terjebak nostalgia, sembari melangkah ke depan tanpa kehilangan akar. Lewat benang-benang yang ia rangkai, Didiet tengah menulis ulang warisan budaya versi dirinya dalam bahasa yang dipahami zaman.

Busana: Svarna by IKAT Indonesia
Jam tangan: Koleksi pribadi
Makeup Artist: Anwar Kho
Fotografer: Rendy Kairupan
Lokasi: Keraton at The Plaza – The Unbound Collection by Hyatt

Penulis: Ardhana Utama

Share via
Copy link
Powered by Social Snap
×