MAN OF THE HOUR
Serial TV terbaru ini adalah serial horologi yang merangkai perjalanan, budaya, dan individu di balik karya jam tangan istimewa
Bagaimana jika sebuah tayangan horologi bukan hanya mengulas jam tangan, tetapi juga membuka pintu menuju sebuah dunia, individu, dan kisah yang membentuknya? Man of the Hour (2025), serial terbaru yang tayang di Discovery Channel, hadir sebagai undangan untuk menjelajahi pembuatan jam tangan melalui perspektif yang lebih personal dan penuh kehangatan.
Program ini membawa penonton melintasi berbagai kota mulai dari Los Angeles, Jenewa, Paris, dan Singapura, serta lintas budaya untuk menemukan nilai, proses kreatif, dan narasi di balik karya waktu kelas dunia.
Alih-alih sekadar menampilkan hasil akhir, serial ini mengajak kita mengupas pemikiran, cerita perjalanan, serta filosofi yang melatarbelakanginya. Kehadirannya pun selaras dengan meningkatnya minat global terhadap jam tangan mekanis sebagai simbol budaya, ekspresi, dan karya seni, menjadikan serial delapan episode terasa relevan bagi penikmat horologi masa kini.
Di balik layar dan di depan kamera, kehadiran Wei Koh menjadi benang merah yang menyatukan seluruh perjalanan episode serial TV ini. Sebagai pembawa acara sekaligus produser eksekutif, pendiri majalah jam tangan Revolution ini membawa bukan hanya kredibilitas, tetapi juga hubungan personal yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan para pelaku horologi dunia.
Dalam serial ini, ia tidak tampil sebagai pewawancara yang menjaga jarak, melainkan sebagai sosok yang memahami dinamika hidup, mimpi, dan jatuh bangun para pembuat jam tangan tersebut. Karena itulah percakapan yang muncul terasa natural, jujur, dan hangat, membuat penonton seolah ikut duduk di meja yang sama. Sentuhan personal ini memberikan nuansa berbeda dari tayangan horologi kebanyakan yang cenderung formal atau instruktif, menjadikan Man of the Hour (2025) terasa lebih mudah diresapi.
Di tengah seluruh keindahan mekanis yang ditampilkan, inti dari serial ini sesungguhnya adalah individu di balik jam tangan itu sendiri. Setiap episode menyingkap nilai keluarga, tradisi, dan ketekunan yang menjadi fondasi para pembuat jam independen dalam membangun karya dan reputasi mereka. Penonton diajak melihat bagaimana sebuah warisan dijaga, disempurnakan, bahkan diuji agar tetap relevan bagi generasi berikutnya.
Seperti yang diungkapkan Karen Seah, Produser Eksekutif di Refinery Media, “kisah tentang nilai warisan yang diteruskan, menerapkan seni yang bertahan menghadapi tantangan, dan inovasi yang lahir dari ketangguhan,” ungkapnya mengenai daya tarik serial ini. Dari sini, dunia jam tangan tampil sebagai lanskap emosional dan kultural, bukan semata industri mewah atau ajang prestise, menjadikannya menyentuh audiens jauh di luar komunitas kolektor.
Episode demi episode dalam musim perdananya membuka pintu ke ragam filosofi dan pendekatan kreatif yang membentuk wajah horologi masa kini. Penonton diajak menyusuri warisan François-Paul Journe sebagai sosok visioner independen, lalu bergeser ke Chopard untuk melihat bagaimana keluarga Scheufele menjaga nilai dan inovasi lintas generasi. Ketika De Bethune tampil, seri ini memperlihatkan bagaimana sains, seni, dan alam berpadu menjadi bahasa desain unik yang memikat.
Ada pula kisah kebangkitan Urban Jürgensen, perjalanan inspiratif Rexhep Rexhepi, hingga semangat pembaruan Louis Vuitton bersama Jean Arnault dan para maestro di balik mesin jamnya. Keragaman sudut pandang ini membuat serial TV terasa seperti perjalanan kuratorial yang memperkaya, karena setiap episode menghadirkan refleksi berbeda tentang apa arti kreativitas, warisan, dan relevansi dalam horologi masa kini.
Di tengah berkembangnya minat global terhadap jam tangan sebagai ekspresi budaya, investasi, dan karya seni, serial ini diramu sebagai pengingat bahwa esensi horologi selalu kembali pada tiap individu dan kisah yang mereka bawa. Baik kolektor berpengalaman maupun penonton yang baru mulai memahami jam tangan mekanis dapat menemukan sudut pandang yang memperkaya apresiasi mereka.
Sentuhan personal yang mengalir di sepanjang seri ini bukan terjadi tanpa alasan, karena bagi Wei Koh, “ini bukan sekadar dokumenter tentang horologi, melainkan tentang berbagi kehidupan, tawa, perjuangan, dan kemenangan orang-orang yang saya sayangi.”
Dengan pandangan tersebut, seri ini mampu menjangkau lapisan emosi yang jarang tersentuh dalam tayangan horologi. Pada akhirnya, Man of the Hour (2025) bukan hanya tontonan untuk memahami jam tangan, tetapi kesempatan untuk merayakan setiap individu, hubungan, dan makna waktu yang menyatukan mereka. Untuk informasi lebih lanjut mengenai serial ini dapat ditemukan langsung melalui tautan https://manofthehour.tv.
Penulis: Billy Saputra



