FINDING HARMONY WITHIN

Waktu bagi Sekaraya Hadiprana Surjaudaja dan babak baru perjalanan keramahtamahan berbudaya dari Hadiprana Hospitality

Nama Hadiprana telah lama lekat dalam lanskap seni dan desain Indonesia, berawal dari visi mendiang Hendra Hadiprana yang mendirikan biro desain interior pertama di negeri ini pada tahun 1958. Jenama tersebut terus berkembang hingga mencakup desain interior, galeri seni, tata pencahayaan, butik dekorasi, pusat kesenian, dan ritel gaya hidup. Hingga industri perhotelan yang dinaungi oleh Hadiprana Hospitality, unit yang menaungi portofolio properti seperti Tanah Gajah di Ubud dan Dua Dari di Ubud, serta proyek mendatang Bandarindu di Sanur. Kini tongkat estafet tersebut diteruskan ke generasi penerusnya, Sekaraya Hadiprana Surjaudaja. Peran utamanya tak hanya menjadi duta dari jenama ini, tapi juga penjaga semangat keluarga dalam menjunjung estetika, kehangatan, dan kesinambungan. Wawancara Collector’s Guide-WATCHES Indonesia dengan Sekaraya berlangsung di kediamannya yang asri Menteng, dalam ruang tenang bernuansa merah dan biru serta dilatar oleh berbagai lukisan koleksi keluarga. Dari perbincangan itu, kami menggali bagaimana Hadiprana Hospitality dirancang untuk merawat legasi, membangun relevansi, dan menjangkau audiens baru tanpa mengabaikan akar dan nilai yang mendasarinya. Sekaligus menyelami pemaknaan waktu dari sudut pandang pribadi Sekaraya.


Dua Dari, A Residence by Hadiprana

Sekembalinya ke Jakarta, Sekaraya memilih untuk terlibat langsung dalam bisnis keluarga yang sudah berusia lebih dari enam dekade ini. Keterlibatan Sekaraya bukan untuk mengganti arah, melainkan untuk memperkuat rajutan benang yang sudah ada. “Saat ini fokus saya bukan untuk menciptakan yang baru. Namun lebih ke bagaimana untuk dapat membuat sesuatu yang sudah ada menjadi berkembang lebih baik,” ujarnya. Ia masuk dengan sikap mendengarkan, membaca pola, lalu mencari celah perbaikan. “Saya suka memecahkan masalah,” ungkapnya. “Bagaimana setiap unit bisnis dapat saya tingkatkan dengan cara yang terbaik.” Langkah awal Sekaraya dalam perjalanan bersama bisnis keluarga dimulai dari ketelitiannya membaca kebutuhan akan identitas jenama yang utuh. Ia melihat bahwa selama ini masing-masing lini Hadiprana berjalan dengan gaya visual berbeda, tanpa benang merah yang menghubungkan. “Dulu logonya berbeda-beda, jadi banyak orang tidak tahu bahwa semuanya masih satu grup Hadiprana,” kenangnya. Ia lalu memimpin proses rebranding, menyelaraskan logo, tipografi, hingga format undangan dan kemasan. Bahkan, ia berkerjasama dengan branding consultant untuk merancang motif batik khusus yang bisa diaplikasikan ke seragam staf, tas, hingga aksesori kain. Baginya, visual yang kohesif memperkuat cerita dan menjaga keberlangsungan lintas generasi.

Dari upaya menyatukan identitas merek, lahirlah Hadiprana Hospitality, lini keramahtamahan yang menghimpun visi keluarga dalam format yang lebih terstruktur. Di bawah kepemimpinan ibunya, Puri Hadiprana, dan dengan Sekaraya sebagai duta merek, lini ini menaungi properti seperti Tanah Gajah, Dua Dari, Rumah Prapanca, dan proyek yang akan datang: Bandar Rindu. “Kami ingin setiap pengalaman di properti ini menyampaikan sesuatu tentang seni, budaya, dan keramahtamahan Indonesia,” ujar Sekaraya. Tidak hanya estetika, tetapi juga rasa. Hadiprana Hospitality menjanjikan pertemuan antara kenyamanan dan nilai, antara layanan personal dan warisan budaya. Ia percaya bahwa keramahtamahan bukan semata industri layanan, tetapi juga cara menyampaikan identitas.


Tanah Gajah, A Resort by Hadiprana di Ubud

Bandarindu menjadi titik krusial dalam fase baru Hadiprana Hospitality. “Awalnya itu merupakan lokasi rumah pertama kakek dan nenek saya di Bali,” tutur Sekaraya. Dibangun setelah mereka jatuh cinta pada Bali, komunitas, seni, dan budayanya. Rumah itu diberi nama Bandarindu, yang berarti tempat penuh kerinduan. “Mereka pergi berbulan madu di Bali, jatuh cinta saat menghabiskan waktu di sana, lalu membeli lahan. Ini menjadi awal mula dari semuanya,” jelasnya. Kini, lahan itu akan dikembangkan menjadi resor urban vertikal di Sanur, sekaligus menjadi kantor Hadiprana Design. “Kalau tidak ada Bandarindu, mungkin tidak ada Tanah Gajah,” ungkapnya.

Selain berbagi cerita perihal perkembangan portofolio dari Hadiprana Hospitality. Sekaraya juga membagikan nilai hidup melalui benda-benda kecil yang sarat makna. Ada benda-benda yang tak hanya menemani, tapi menandai perjalanan seseorang dalam bertumbuh. Bagi Sekaraya Hadiprana Surjaudaja, salah satunya adalah jam tangan yang diberikan oleh sang ayah saat kelulusannya dari SMA. “Itu jam tangan pertama saya,” kenangnya sambil tersenyum. “Waktu itu saya belum paham nilainya. Bahkan pernah tidak sengaja saya bawa mandi,” tuturnya sambil tertawa. Seiring berjalannya waktu, jam tangan Cartier Santos tersebut menjadi lebih dari sekadar penunjuk waktu. Ia mengenakannya hampir setiap hari, sebagai pengingat momen peralihan menuju kedewasaan. “Jam tangan ini selalu mengingatkan saya pada pengalaman pertama menjadi orang dewasa yang dipercaya untuk bertanggung jawab,” ucapnya. Di matanya, jam tangan adalah refleksi dari perjalanan personal, bukan aksesori semata. “Mungkin itu benda paling berharga yang harus saya jaga waktu itu,” tambahnya. Hingga saat ini pemberian sang ayah tetap menjadi pilihan utamanya sebagai pengingat manis dan berkat nilai sentimentalnya. “Saya selalu kembali ke jam tangan ini,” tutupnya pelan.

Selain itu, Sekaraya mengenang sebuah perhiasan kalung mutiara dari sang kakek yang memberinya pelajaran soal makna pemberian. “Menurut saya bahasa cintanya Eyang adalah memberi hadiah,” kenangnya. Saat kecil, ia bingung menerima kalung mutiara tersebut, namun seiring berjalannya waktu ia memahami bahwa itu bukan sekadar benda. “It’s something that helps us remember someone that means to us, dan saya masih simpan dan kenakan sampai sekarang” ucapnya. Begitu juga dengan perhiasan lainnya seperti cincin, anting, dan bros yang dikenakan, semuanya menyimpan cerita. Bahkan, sebelum pergi ke acara, ia harus melewati “protokol” Sang Kakek: dipindai dari kepala hingga kaki agar penampilan selalu selaras.

Selain penunjuk waktu, bagi Sekaraya makna waktu telah mengalami perubahan yang signifikan. Dahulu, waktu adalah sesuatu yang harus dikejar dan dijaga ketat. “Dulu saya berpikir saya tidak punya cukup waktu,” kenangnya, merujuk pada masa kuliah yang penuh tekanan. “Saya nerdy banget. Kerjanya belajar terus, tidak ada balance.” Bahkan untuk makan malam santai, teman-temannya harus membujuknya terlebih dahulu. Namun setelah pandemi, cara pandangnya berubah. “Saya sadar saya tidak bisa mengontrol semuanya. Tapi saya bisa pilih mau pakai waktu saya buat apa.” Kini, waktu baginya menjadi ruang empati dan kebaikan. “Apa yang bisa saya lakukan dengan waktu saya untuk membantu orang lain dan membuatnya lebih bermakna?” ujarnya hangat sembari menutup perbincangan sore itu.

Perhiasan dan jam tangan: Koleksi pribadi
Busana: Outer: Atelier Garden; Bottoms: Wanita oleh Shinta Caroline

Penulis: Billy Saputra
Foto: Rendy Kairupan
Foto properti: Hadiprana Hospitality

Share via
Copy link
Powered by Social Snap
×